Sudah setengah jam aku berdiri di halte bus depan kampusku. Ini merupakan kegiatanku sehari-hari setelah aku trauma mengendarai sepeda motor. Aku pernah mngutarakan keinginanku memiliki mobil pada kedua orang tuaku, tapi bundaku menolak dengan alasan aku belum memerlukannya. Aku hanya menurut saja, tidak mau menggunakan sepeda motor yang di belikan ayahku sebagai hadiah kelulusan dan di terimanya aku di sebuah perguruan tinggi negeri nomer satu di Indonesia.
Aku masih berdiri di halte menunggu bus angkutan umum. Kulihat langit semakin gelap menandakan akan segera turun hujan. Benar saja, gerimis mulai turun membasahi jalan raya. Tiba-tiba datang seorang anak lelaki berusia sekitar 12 atau 13 tahun membawa sebuah gitar kecil dengan pakaian lusuh. Bisa ku tebak anak lelaki ini pasti seorang pengamen. Aku sering menemui pengamen, jadi aku tak terlalu memperdulikannya. Anak lelaki itu mulai memetik gitarnya dan bernyanyi, aku sedikit memperhatikan cara anak itu bermain gitar. Sangat mahir, petikannya terdengar nyaring dan merdu di tengah hujan deras seperti sekarang. Suaranya juga cukup bagus untuk ukuran anak jalanan, sangat berbeda dengan pengamen yang sering kutemui sebelumnya.
Selesai bernyanyi anak itu menyodorkan kantong plastik untuk meminta sedikit receh dari orang-orang di sekitarnya. Aku memasukkan selembar uang lima ribu rupiah saat anak itu menyodorkan kantongnya ke hadapanku. “terimakasih ka.” Ujarnya dengan mata berbinar. Aku hanya menjawabnya dengan senyum. Anak lelaki itu kembali berdiri di sampingku. “lagi nunggu jemputan ya kak? Apa nunggu bus?” anak lelaki itu bertanya padaku. “ha? Iya lagi nunggu bus. Tapi ko lama ya?” jawabku sedikit canggung. Aku tak terbiasa berbicara dengan orang asing yang belum ku kenal sebelumnya. Anak lelaki itu menganggukan kepalanya. “kuliah di UI ya kak? Jurusan apa?” anak lelaki itu kembali bertanya. “eh, iya. Jurusan manajemen. Rumahmu dimana de?” aku balik bertanya. “di kelapa dua kak.” Jawab anak itu tanpa menatapku. “belajar main gitar dimana dek? Mahir banget main gitarnya.” Tanya ku penasaran pada anak lelaki yang bahkan aku tidak tahu namanya. “dulu di ajarin sama ayah saya kak.” Anak itu tetap tak menatapku, seperti sedang memikirkan sesuatu. “lagi mikirin sesuatu ya de?” tanyaku penasaran. “panggil rasya aja kak, engga ko, saya suka liat hujan. Menurut saya hujan itu anugrah Tuhan yang ngga boleh di lewatin.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku hanya menjawab dengan senyum dan kembali menatap hujan di depanku.
Tak lama kemudian bus yang ku tunggu datang. Aku naik kedalam bus bersama dengan rasya, sang pengamen yang baru saja ku kenal. Rasya duduk di sebelahku. Aku bertanya pada rasya “kamu ngga ngemen de?.” Rasya sejenak memandangku dan kembali menatap hujan keluar jendela, “ saya ngga pernah ngemen di bus ka, kalo ngemen ya Cuma di halte seperti tadi. Saya ngga mau supir busnya ngga konsentrasi nyetir trus terjadi sesuatu. Saya ngga mau supir busnya mengalami hal yang di alami ayah saya. Dan anak-anaknya bernasib sama seperti saya.” Aku menatap rasya heran, tak mengerti dengan maksud pembicaraannya. “maksud rasya apa? Kakak ngga ngerti deh.” Tanyaku jujur pada sosok anak lelaki di sebelahku. “dulu ayah saya seorang supir bus juga kak, gara-gara pengamen yang nyanyi, naik turun bus seenaknya tanpa member aba-aba ingin turun ayah saya jadi ngga konsentrasi nyetir. Bus yang di kendarai ayah saya nabrak. Ayah saya meninggal di tempat. Setelah itu saya tinggal di rumah paman, tapi paman saya selalu bertengkar sama bibi saya karena ngga suka paman terlalu sayang sama saya. Akhirnya daripada terus jadi beban mereka, saya milih tinggal sendiri di rumah peninggalan ayah.” Aku terkejut mendengar pengakuan rasya. “ emang ibu kamu kemana de?” tanyaku agi pada rasya. “ ibu saya meninggzl pas nglahirin adek perempuan saya kak, adek perempuan saya juga udah meninggal kena DBD waktu umur 2 tahun. Jadi saya tinggal sendiri.”
Batinku terharu mendengar pengakuan rasya. Anak sekecil ini membiayai hidupnya seorang diri tanpa kasih sayang seorang ayah ataupun ibunya. “paman kamu ngga suka jengukin kamu de? Trus kamu sekolah?” tanyaku sambil menatap rasya. “saya sekolah ko kak, kelas 3 smp. Paman sama bibi pindah ke Palembang. Jadi saya disini Cuma berdua sama nenek.” “ emang umur kamu berapa de? Itu nenek kandung kamu?” lagi-lagi aku bertanya pada sosok kecil di hadapanku ini. “umur saya 13 tahun kak, saya akselerasi di sekolah. Bukan, saya ketemu nenek itu di pinggir rel kereta api. Kasian dia ngga punya keluarga sama tempat tinggal, yaudah saya ajak tinggal sama saya aja, lagian dirumah saya Cuma sendirian.” Aku kembali takjub mendengar cerita anak kecil di hadapanku, seorang pengamen masuk kelas akselerasi, mau menolong sesama. Sungguh sangat berbeda denganku. Aku yang masih memiliki kedua orang tua dan hidup berkecukupan terkadang sering sekali mengeluh untuk sesuatu yang tidak penting. “kamu biayain sekolah kamu sendiri de?” tanyaku lagi pada adik kecil di hadapanku. “iya kak, saya dapet beasiswa dari sekolah, untuk makan saya sama nenek saya ya dari hasil ngamen ini. Alhamdulillah, saya masih bisa makan nasi sama nenek.” Lagi-lagi aku takjub mendengar pengakuan bocah di hadapanku. “saya cuma bisa bersyukur sama keadaan saya sekarang kak, saya bisa sekolah, bisa makan dan punya nenek yang sayang sama saya. Saya udah bersyukur banget.” Aku hanya diam mendengar perkataan anak kecil di hadapanku. Anak sekecil ini sudah bisa mencari uang sendiri, menhghidupi seseorang yang bahkan bukan saudaranya dan anak ini masih bisa bersyukur. Aku merasa malu pada diriku sendiri.
“saya duluan kak.” Kata anak itu sambil tersenyum dan melangkah turun dari bus. Aku membalas senyumnya dan menepuk pundaknya. “ salam buat nenek kamu ya rasya” kataku sambil menyelipkan selembar uang di kantong celana pendeknya. Rasya tersenyum dan turun dari bus, kulihat rasya melambaikan tangan pada bus yang ku tumpangi.
Aku kembali termenung menatap jalan raa yang basah karena hujan. Aku berjanji pada diriku sendiri, mulai saat ini akan lebih menghargai hidup, dan lebih bersyukur pada Tuhan. Terimakasih Rasya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar